Matahari telah pergi di hari minggu sejak
pagi, senyum indah di pagi yang sangat cerah untuk berjalan kaki seorang anak
desa dari rumah ke rumah serambi memanggil nama teman – temannya, saat itu aku
mulai memandangi jam yang telah lama tergantung dari beberapa tahun ini sambil
selalu mengambil sorotan mata baik apapun kondisi orang yang mengalaminya, tak
terasa detik – detik selalu berganti dengan ku memetik serangkaian mimpi dari
tidur kemarin “hm… pagi lagi enaknya buat seru – seruan yuk?” hati berkata
dalam sedikit kantuk lelah. “Gus sarapan iki lho wes matenggg… !!!” teriakan
yang sangat ku dengar familiar selalu, dia adalah ibuku, ku pun mulai berjalan
menapaki garis jalan rumah yang sudah terbiasa aku jalani lantai dengan sedikit
debu dan kusam ini telah berjasa banyak sekali dalam beberapa hidupku yang
mungkin sangat berharga untuk di lupakan.
Seonggok nasi telah mengepul dengan deru angin
pagi sedikit suram dibalik kelambu jendela yang sudah agak buram, ku mengambil
beberapa piring yang nanti sedianya akan ku berikan pada ketiga adikku, ya
memang begitulah adikku datang kerumah seperti biasa bermain – main saling
mengadu nasib di permainan computer dan permainan hp android yang terbaru
mereka, masih kuniangkan beberapa suara permainan itu “dua belass…. Kamu
menang…. Kamu kehilangan kota kamu… landmark telah dibangun (sangar brow
ternyata masih kecil – kecil gini udah bisa bangun mall seperti lenmarc yang di
daerah Manukan HR Muhammad Surabaya itu)” itu adalah beberapa suguhan cerita
hening di pagi hari yang sedikit mendung itu.
“(…..) Astaga ada suara iklan stella oh iya
itu kan ringtone hpku hehehe…”sembari makan dengan mengambil hp putih bercorak
smartfren yang kata orang (kamu telah mendukung bakrie) emang gue pikirin brow,
itu hp sangat berjasa biarin orang bilang gue ndukung siapa saja as you wish,
lalu ku lihat sebuah pesan dengan kata tantangan di pagi itu “dipending sek ta mas
brow ng malang e ki” brow subkan telah SMS (Short Messages Services) “hmmm…
kencengi ae wes brow sak mlakune sepeda” kubalas kata – katanya dengan sedikit
menantang di hati, “sek tak adus sek” balesannya dari brow subkan.
Satu jam telah berlalu dalam sedikit waktu
aku telah berlagak galau sedikit menunda dengan mengusap dengusku di motor kebo
merahku yang selalu siap di segala waktu, klakson berbunyi “pooommmm……. (kayak
suara truk)” adikku yang pertama telah pulang kerumah dengan sedikit terengeh –
engeh dia menanyakan “mas mau kemana?” Tanyanya dengan sedikit curiga dalam
hatinya, dikarenakan kemarin malam aku telah mengajaknya pergi ke pantai
Jonggring Saloka daerah South Malang a.k.a Malang Selatan itu, “gimana
kencengin ndag? (kencengin=berangkat)” seru ku dalam hati dengan menyalakkan
sedikit alis di atas mata hati “gak wes mas pegel mari tekan Surabaya nanti
juga bersih – bersih rumah” bilangnya dia (emang rumahnya mau di gusur?) ya
sudahlah brow subkan dengan motor bebeknya datang sedikit lebih molor dari
waktu biasanya lalu dia pun berkata “wes siap brow?” kubalas dengan “siap tok
wes…. Jangan lupa bawa jas hujan” tiba – tiba dia mengundurkan motornya lagi
sembari bilang “sek njupuk jas hujan brow”.
A couple of minutes (beberapa menit
kemudian) dia kembali lagi, singkatnya motor itu dia bawa pulang kerumah lagi
lalu kujemput dia di rumahnya. Erangan si kebo mulai di serukan box isi penuh
dan bensin kosong mulai di isi di daerah Tanggulangin Sidoarjo ya, memang begitulah
itu rumah ada di daerah Sidoarjo terkenal dengan ramainya piluk pekak lumpur
dari dalam perut bumi bagaikan tiada henti menunggu kapan semua ini akan
selesai di hari nanti ketika engkau mulai disini memiliki kami sebagai orang
yang sakti akan segala hiburan duniawi ini.
Empat jam telah berlalu dalam
kecepatan rentang di enam puluh sampai
delapan puluh kilometer per jam bertanya kepada GPS bawaan hp si andromax putih
ini telah baik menuntun kami sampai malang, dan dari situlah keunikan dalam
touring saya kali ini, boleh di bilang saya touring tidak hanya sekali namun
memiliki beberapa sentuhan ajaib dari beberapa petualangan yang di suguhkan
oleh alam ini, orang pertama yang saya tanyai adalah di daerah sekitaran kota
malang untuk menanyakan lajur menuju Karangkates yang sangat terkenal akan
waduknya di daerah perbatasan antara Kota Blitar dan Malang Selatan.
Kebo anabrang itulah sebutan dari motorku
yang beberapa waktu lalu sering di ucapkan oleh orang yang sampai saat ini
masih menyimpan sebuah tanda – tanda dengan keseruhan hati untuk bertanya
bagaimanakah orang ini dapat memahami beberapa hal yang tidak seharusnya di
mengerti oleh orang awan yang berjalan melintasi ruang dan waktu, pemikirannya
yang penuh dengan taktik tak bisa di tebak walau dengan kepala butak dan seutas
tali dari bungkus rokok merah yang selalu dibawanya, memahami beberapa hirup
pikuk aroma pengalaman yang mengundang rasa takjub. Jalan memang tak seindah
harapan yang di hidangkan oleh sedikit senyuman bahwa kelak kita kan
mendapatkan harta melipah ruah bagaikan pemikiran yang pelit akan kesengsaraan,
namun tidak bagi dua orang yang sering dianggap “gendeng” atau memang
sebetulnya gendeng melimpahi pikiran, bagaimana mungkin dua orang tanpa
peralatan lengkap hanya memebawa sedikit bekal dan persiapan yang boleh
dikatakan seperti biasa untuk hari yang biasa.
Naik turun perbukitan yang tinggi melampaui
kesadaran akan hilangnya hati nurani menuaikan sejuta angan yang pasti, namun
akankah kita sampai pada satu tujuan yang penuh dengan kata damai, memang
itulah yang terjadi segerombolan air berwarna hijau itu telah lama berkumpul
bersama hingga membentuk sebuah koloni bernama “waduk karangkates” mereka
itulah yang di sebut pahlawan tanpa tanda tanya karena apa yang terjadi hanya
alamlah yang mengetahui, beberapa kelokan dan asap pekat kendaraan telah
kulalui dalam beberapa jam hanya untuk menjupai denah jalan berwarna hijau agak
buram yang hamper habis dimakan oleh alam.
“Donomulyo” samping dari belakang waduk
karangkates tersebut terlihat beberapa bukit hamper dengan sedikitnya menjulang
ke langit yang perkasa tiada tara, hingga aku pun kembali menyentuh kecepatan
diangka rentang tujuh puluh – delapan puluh kilometer per jamnya, tak kusangka
kelokan itu sangatlah curam bagaimanakah seorang manusia sanggup membangun
sebuah tebing yang begitu dahsyatnya melihat kebawah hamper memiliki kedalam
lebih dari seratus meter di permukaan laut, empat desa telah kulalui dalam hati
bertanya “hanya untuk mencari pom bensin bertuliskan pertamina haru ku lewati
empat desa?” astaga betapa hebatnya orang daerah yang telah kulewati ini, “pak
ngapunten menawi teng pantai Jonggring Saloka tasih tebe?” ku bertanya kepada
salah satu pendagang sembako yang tokohnya hampir penuh oleh dus – dus makanan
baik minuman ringan sama untuk diberatkan “wah tasih mas, njenengan mangke
lurus mawon mboten ngiri njih, kados ngiri njenengan mpun teng Pantai Ngliyep
(hmm… pantai ngliyep bisa untuk percobaan ketika nanti kita telas salah ambil
jalan dalam hatiku berfikir sambil memasang tenlinga ku yang tidak terlalu
indah untuk di jilat), menawi njenengan badhe teng pantai, njenengan teng
Pantai Ngliyep mawon mas, Pantai Jonggring niku mboten terlalu sae jalur e
soale makadaman mas” di menjelaskan kepada kami betapa raut mukanya memelas
agar janganlah kita berangkat kesana terlihat jelas decit dari raut mukanya
mulai memberikan sentuhan nada halus nan ringan.
Jagang si kebo mulai ku kembalikan ke
posisi awal, pelintiran gas mulai ke gertakkan serambi aku berfikir akankah, ah
tidak biar nanti tersesat pasti tak jauh paling – paling ya masih di
Indonesialah, dalam dilemma berkepanjangan jalan mulai sedikit bergelombang
maka bertemulah dengan patung semar sambil menunjukkan jarinya ke bawah yang
jalannya boleh dikatakan telah lama tak perbaiki memang bisa dikatakan itu
adalah jalan aspal mungkin memang aspal tapi yang KW-KWan, terlihat dua orang
sedang bercanda gurau di balik bayangan motor dan pos kamling yang sudah lama
tidak terlalu dirawat, lesuh dan sepi namun damai di katakana untuk Kecamatan
Donomulyo ini, dalam berbenakkan hati berlandaskan rasa penasaran yang tinggi
aku dan brow Subkan bertanya kepada sala satu pria setengah tua dan masih
berjaya dalam setiap petikan ucapan yang dimilikinya, “Pak ngapunten niki badhe
tangglet menawi teng Pantai Jonggring lintang pundi?” brow Subkan bertanya
dengan sedikit getaran lembut di badannya yang hamper dalam beberapa saat dia
tidak pernah pergi sejauh mungkin untuk melupakan beberapa penat dan pikuk
kerapatan dalam setiap kegiatan yang monoton sungguh ironi yang membuat
seseorang berani melakukan segalanya untuk mendapatkan kepuasan tersendiri,
“tasih lurus mas luuurrrruuuussss mawon mboten usah belak belok sampai nemu
jembatan luruuusssss……” jawabnya dengan sedikit memeragakan bibir dari seorang
arti yang pada beberapa tahun ini masuk dalam jumlah miliarder di Indonesia
kita tercinta, “njih mpun pak matur nuhun…” jawabku sambil sembari
mempersiapkan tenaga dan pikiran untuk bersatu dalam kelembutan petualangan
yang tiada tentu bisa kurasakan, “wah nek sepeda iki yo kuat tok mas” celoteh
seseorang yang rambutnya sudah mulai beruban dan memiliki kulit sedikit keras
tidak seperti dahulu kalanya seoranng pria membawa senjata penuh dengan kata
makna untuk memberikan segalanya pada keluarga.
Bersambung di Part 2